SUKU TENGGER,JAWA TIMUR


SUKU TENGGER,JAWA TIMUR




Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang. Suku Tengger merupakan sub suku Jawa menurut sensus BPS tahun 2010.
Orang-orang suku Tengger dikenal taat dengan aturan dan agama Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger".



Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara yakni Pura Luhur Poten Bromo dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa



Bahasa Tengger
Dituturkan di
Jawa Timur
Jumlah penutur
80.000 (sensus 2000)  (tidak ada tanggal)
Rumpun bahasa
Austronesia
·         Melayu-Polinesia
o    Jawa
§  Bahasa Tengger


Bahasa Tengger dituturkan di daerah Gunung Bromo yang termasuk wilayah Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang.
Di Pasuruan, cara Tengger ditemukan di kecamatan Tosari, lalu di Probolinggo, daerah kecamatan Sukapura, sedangkan Malang, cara Tengger dituturkan di wilayah desa Ngadas, kecamatan Poncokusumo. Yang terakhir, di Lumajang dituturkan di wilayah Ranupane, kecamatan Senduro. Secara linguistik, bahasa Tengger termasuk rumpun bahasa Jawa dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa Austronesia. Ada yang menganggap bahasa Tengger itu turunan basa Kawi dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tak digunakan lagi dalam Bahasa Jawa modern.
Contoh :
  • reang: aku, jika yang berbicara lelaki
  • isun : aku, jika yang berbicara perempuan
Apabila abjad a dalam bahasa Jawa modern dibaca O, di Tengger dibaca A

Ritual Suku Tengger Bromo,Jawa Timur

Sebagai ungkapan rasa sykur kepada sang pencipta, ribuan warga suku Tengger yang berada di kawasan Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa Timur, menggelar ritual Yatna Kasada. Meski kabut tebal dan suhu yang tidak lebih dari 5 derajat celcius namun hal itu tidak mengurangi suasana khitmat selama ritual pembuangan aneka sesaji hasil bumi ke pusat kawah Bromo tersebut.
Ritual Yatya Kasada digelar saat purnama. Pada bulan kasada sesuai penanggalan warga Hindu Tengger. Yatya kasada diawali dengan malam resepsi di pendopo agung, di Desa Ngadisari, yang merupakan wilayah terdekat dari kawah Bromo dan dihadiri para tokoh dan sesepuh adat. Ritual selanjutnya adalah buka lawang, yang dipusatkan di pura Ponten Bromo.
Ritual ini dimaksudkan untuk meminta izin kepada para leluhur sebelum kasada digelar. Meskipun cuaca berkabut dengan suhu sekitar 5 derajat celcius tidak mengurangi suasana khidmat. Ritual kasada berangkat dari mitologi masyarakat Tengger dimana konon dua leluhur Tengger yakni Roro Anteng, dan Jaka Seger berjanji akan mengorbankan anaknya ke kawah Bromo, bila yang maha kuasa, menganugrahkan keturunan.
Puncak tradisi adalah dengan melarung puluhan ongkek, sebutan untuk aneka sesaji hasil bumi. Acara ini menarik ratusan wisatawan. Sebagian dari mereka bahkan ihklas melintasi lautan pasir untuk mengarak sesaji. Namun sayangnya puncak acara tidak bisa di ikuti seluruh warga. Karena bibir kawah yang menipis dan berbahaya.

FILOSOFI DARI RITUAL YADNYA KASADA

Sedekah bumi dibawa ke kawah Gunung Bromo (Foto: kmk312ratna.wordpress

PROBOLINGGO - Ribuan warga suku Tengger yang bermukim di Brang Kulon dan Brang Wetan di lereng Gunung Bromo menggelar upacara adat Yadnya Kasada di Pura Agung Poten. Ritual adat perayaan Yadnya Kasada ini ditutup dengan melarung sedekah bumi ke salah satu pusaran bumi, kawah Gunung Bromo.
Suku Tengger yang bermukim di empat kabupaten yang mengelilingi Gunung Bromo memulai ritual adat ini sejak Selasa lalu dengan melakukan mendak tirta (mengambil air suci) di sejumlah mata air dikawasan Gunung Bromo.
Warga suku Tengger yang tinggal di Brang Kulon, yakni di Pasuruan dan Malang, mendak tirta di Gunung Widodaren, sedangkan warga Brang Wetan melakukan mendak tirta di Ranupane (Lumajang) dan air terjun Madakaripura (Probolinggo). Air suci dari berbagai sumber mata air tersebut dipergunakan untuk keperluan ritual di Pura Agung Poten yang berada di lautan pasir (kaldera) Gunung Bromo.
Romo Dukun Supayadi mengungkapkan, perayaan Yadnya Kasada ini merupakan ritual adat Suku Tengger yang diperingati pada hari ke-15 bulan purnama di bulan Kasada. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi dan para leluhur, warga Tengger menggelar ritual sesembahan berupa sesaji hasil bumi dan ternak yang dilarung di kawah Gunung Bromo.
"Larung sesaji berupa hasil bumi, palawija, dan ternak ini adalah bentuk rasa syukur warga Tengger kepada Tuhan. Sesaji yang telah diberikan mantra ini kemudian dilarung di kawah Gunung Bromo," kata Romo Dukun Supayadi, Sabtu (4/8/2012).Menurut dukun adat dari Desa Wonokitri, Tosari Kabupaten Pasuruan tersebut, rangkaian Yadna Kasada dirayakan dimasing-masing daerah pemukiman warga Tengger. Di antaranya dengan menggelar berbagai kesenian tradisional tayuban, reog serta resepsi dan pesta penyambutan tamu pada Jumat malam. Di Brang Kulon, pesta penyambutan tamu digelar di Pendapa Agung Wonokitri, Tosari Pasuruan, sedangkan di Brang Wetan dilakukan di Pendapa Cemorolawang, Sukapura, Probolinggo.
Menjelang tengah malam, warga suku tengger dari berbagai empat wilayah turun ke lautan pasir (kaldera) untuk melaksanakan puncak ritual upacara Yadnya Kasada di Pura Agung Poten. Berbagai sesembahan berupa hasil bumi dan ternak yang dibawa warga dimintakan mantra-mantra kepada pemimpin adat Suku Tengger. Usai ritual adat, Sabtu dini hari, warga berbondong-bondong menuju puncak untuk melarung sesaji di kawah Gunung Bromo.
Ritual adat perayaan Yadnya Kasada ini merupakan momen yang paling ditunggu para wisatawan Nusantara maupun mancanegara untuk berkunjung ke Gunung Bromo. Pada tiga kali perayaan Yadnya Kasada atau sejak 2010, selalu bersamaan dengan bulan Ramadan. Sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada jumlah wisatawan. Namun pada tahun 2013 mendatang, perayaan Yadnya Kasada tidak lagi berbarengan dengan bulan Ramadan